Dilan Bagian Kedua
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: Pastel Books
Tebal: 344 halaman
[Spoiler Alert]
Perasaan saya menjadi campur aduk sesaat setelah membaca novel Dilan 2. Sudah satu minggu lalu sebenarnya, sejak saya selesai membaca novel ini, menamatkan Dilan bagian kedua, dia adalah Dilanku tahun 1991.
Jika Dilan bagian pertama bisa menggambarkan jatuh hati yang begitu jelasnya, pada bagian kedua ini Dilan seperti bukan hanya mematahkan hati Milea, namun juga hati saya, namun juga hati para pembaca.
Jika Dilan bagian pertama bisa menceritakan proses pendekatan yang begitu manis dan membuat banyak wanita iri pada Milea, pada bagian kedua ini Pidi Baiq berhasil menyajikan proses perpisahan hubungan remaja yang begitu alami, begitu mungkin dan banyak terjadi sehingga membuat patahan hati cinta pertama yang bertebaran dalam kumpulan catatan harian para remaja. Pidi Baiq berhasil mengisahkan bahwa Dilan merupakan remaja biasa, tidak berbeda dengan remaja lain pada umumnya, yang masih egosentris, memiliki emosi yang fluktuatif, ingin dipahami, dan cenderung impulsif. Impulsif, termasuk dalam mengambil keputusan terkait hubungannya yang manis dengan Milea.
Dilan, dia adalah Dilanku tahun 1991, merupakan sekuel dari buku pertamanya. Menceritakan mengenai kehidupan Dilan dan Milea setelah mereka berpacaran. Waktunya tak lama, singkat saja, sejak Desember 1990 hingga akhirnya hubungan manis itu berakhir di awal 1991 (saya lupa apakah itu Februari atau Maret). Namun hubungan yang singkat tersebut bukan berarti akan hilang dengan cepat seiring waktu. Bahkan setelah menikah pun, Dilan tetap memiliki tempat khusus bagi Milea.
First love really never dies.
Bagian kedua ini dimulai dengan berbagai kenangan manis antara Dilan dan Milea di hari-hari setelah mereka resmi berpacaran. Begitu pula melanjutkan penyelesaian masalah yang Dilan alami pada buku bagian pertama (saya tidak ingin bercerita banyak disini, biarkan kalian menikmati sendiri kisah-kisah yang ada di Dilan 1 dan 2 ini selengkapnya hehe).
Dilan, meskipun begitu banyak sisi sempurnanya sebagai seorang pasangan, namun masih saja ada sifat buruk yang mengotori daftar sempurna seorang Dilan. Sifat buruk itu yang justru berpengaruh besar pada kehidupan Dilan, yang banyak membuat keluarganya khawatir, yang membuat Dilan dinilai nakal dan berandalan oleh orang lain.
Dilan masih sering bersama geng motornya, masih suka berkelahi, masih sangat tinggi egonya sehingga menyelesaikan masalah selalu dengan balas dendam dan kekerasan, Dilan masih sering nekat. Hal ini yang kemudian membawa Milea pada satu persimpangan dimana ia begitu cemas dan tak mau kehilangan Dilan akibat kebodohan remaja nakal yang sering Dilan lakukan. Disini, Milea lalu mengambil keputusan dengan membuat Dilan memilih; antara dirinya atau kebiasaan buruk Dilan tersebut.
Dilan, tidak seperti yang diharapkan Milea. Menanggapi pilihan Milea, Dilan justru merasa terkekang dan tidak suka. Dilan mengarah ke persimpangan yang salah, persimpangan yang akan membuat pembaca berdecak kecewa dan, seperti yang beberapa kali saya temukan di komentar pembaca lainnya, berperilaku seperti 'bukan Dilan'.
Namun, jika disini saya boleh berkomentar, Pidi Baiq justru mencoba mengingatkan para pembaca bahwa, itulah Dilan. Dilan hanyalah seorang anak remaja dengan segala karakter dan ciri khasnya. Dilan bukan sosok panutan sempurna (walaupun memang Dilan sempurna di buku pertamanya). Dilan punya pikiran dan pilihannya sendiri yang membuat kita sadar bahwa "ya... Dilan masih remaja. Wajar, sangat wajar Dilan bersikap begini."
Lalu, di sisi lain saya juga melihat, bahwa apa yang dialami Dilan dan Milea merupakan representatif dari pengalaman yang banyak dialami oleh remaja lain. Merupakan representatif dari banyak cinta pertama yang patah di masa remaja. Di usia yang dewasa ini saat saya membaca kisah seperti itu, tentu menjadi banyak hal yang disayangkan. "Seandainya Milea tahu dampak dari perbuatannya...", "Seandainya Dilan mau berpikir lebih panjang...", "Seandainya mereka mau saling mengalah...", "Seandainya mereka lebih dewasa....", "Seandainya mereka tahu panjangnya waktu yang mereka butuhkan untuk menyembuhkan luka patah hati tersebut...."
Namun tentu mereka tidak bisa menjawab semua andaian itu dengan indah. Dilan dan Milea tidak tahu apa yang akan terjadi di waktu depan mereka, Dilan dan Milea tidak tahu bahwa luka dari patah hati yang mereka bawa akan berkisah panjang. Dilan dan Milea tidak tahu apa-apa, mereka hanya menjalani apa yang ada di hadapan mereka saat itu, merasakan dan meresapi emosi yang mereka alami saat itu. Dilan dan Milea tidak tahu apa-apa, sama seperti kita dulu, saat remaja...
Namun, jika disini saya boleh berkomentar, Pidi Baiq justru mencoba mengingatkan para pembaca bahwa, itulah Dilan. Dilan hanyalah seorang anak remaja dengan segala karakter dan ciri khasnya. Dilan bukan sosok panutan sempurna (walaupun memang Dilan sempurna di buku pertamanya). Dilan punya pikiran dan pilihannya sendiri yang membuat kita sadar bahwa "ya... Dilan masih remaja. Wajar, sangat wajar Dilan bersikap begini."
Lalu, di sisi lain saya juga melihat, bahwa apa yang dialami Dilan dan Milea merupakan representatif dari pengalaman yang banyak dialami oleh remaja lain. Merupakan representatif dari banyak cinta pertama yang patah di masa remaja. Di usia yang dewasa ini saat saya membaca kisah seperti itu, tentu menjadi banyak hal yang disayangkan. "Seandainya Milea tahu dampak dari perbuatannya...", "Seandainya Dilan mau berpikir lebih panjang...", "Seandainya mereka mau saling mengalah...", "Seandainya mereka lebih dewasa....", "Seandainya mereka tahu panjangnya waktu yang mereka butuhkan untuk menyembuhkan luka patah hati tersebut...."
"Dilan, kalau dulu aku pernah berkata bahwa aku mencintai dirimu, maka kukira itu adalah sebuah pernyataan yang sudah cukup lengkap dan berlaku tidak hanya sampai di hari itu, melainkan juga di hari ini dan untuk selama-lamanya.
Karena, sekarang aku mungkin bukan aku yang dulu, waktu membawa aku pergi, tetapi perasaan tetap sama, bersifat menjalar, hingga ke depan."
Namun tentu mereka tidak bisa menjawab semua andaian itu dengan indah. Dilan dan Milea tidak tahu apa yang akan terjadi di waktu depan mereka, Dilan dan Milea tidak tahu bahwa luka dari patah hati yang mereka bawa akan berkisah panjang. Dilan dan Milea tidak tahu apa-apa, mereka hanya menjalani apa yang ada di hadapan mereka saat itu, merasakan dan meresapi emosi yang mereka alami saat itu. Dilan dan Milea tidak tahu apa-apa, sama seperti kita dulu, saat remaja...
"Masa lalu bukan untuk diperdebatkan, kukira itu sudah bagus. Mari biarkan."Terima kasih Pidi Baiq untuk kisah realistis nan indah ini. Saya tidak sabar untuk membaca buku lanjutannya, kisah Milea dari sudut pandang Dilan.
"Aku rindu kamu! Itu, akan selalu."
Comments
Post a Comment