Ada seorang penulis buku yang sudah cukup dikenal namanya. Penulis ini juga terhitung sering berkeliaran di dunia maya dengan segala kicauan hariannya. Sempat suatu hari saya tergugah untuk mem-follow penulis ini. Alasan saya adalah karena penulis ini seringkali sharing tentang buku-buku bagus. Lumayan untuk menambah referensi bacaan bagi orang seperti saya, yang memang selalu membutuhkan referensi terlebih dahulu sebelum tergerak untuk membeli sebuah buku. Seorang teman pun berkata bahwa awal mula Haruki Murakami kembali populer di Indonesia adalah karena penulis ini sempat share IQ 84 yang baru habis dibacanya. Makinlah saya tergugah untuk follow penulis ini, karena minimal sudah ada satu penulis favorit saya yang masuk recommended list si penulis.
Namun selang beberapa hari saya mengikuti si penulis ini, ada rasa kurang nyaman yang muncul. Entah kenapa. Mungkin karena si penulis terlalu sering muncul di timeline saya. Mungkin karena ada beberapa tweet dari si penulis yang kurang sesuai dengan diri saya. Mungkin karena semua buku yang kemudian saya lihat masuk dalam recommended list si penulis tidak ada yang nyantol di hati saya. Atau mungkin kebetulan di pekan itu saya memang sedang tidak enak perasaan, sehingga melihat si penulis berlalu lalang di timeline saja sudah bisa membuat saya gerah.
Akhirnya saya unfollow penulis itu. Diikuti dengan kebingungan mengapa dia bisa terkenal. Walaupun jujur saya belum tahu sudah seberapa besar nama penulis ini, atau sudah seberapa banyak buku yang ia tulis. Hal yang saya tahu hanya dia adalah salah satu selebtweet. Saat itu, saya lebih mengenalnya sebagai seorang selebtweet dibandingkan sebagai seorang penulis.
Kepada seorang teman yang memang biasa jadi salah satu tempat saya diskusi dunia buku, saya sempat menyampaikan bahwa sepertinya saya tidak suka dengan penulis itu. Tidak adil memang. Saya belum pernah membaca bukunya namun saya sudah judge dia seperti itu. Hanya karena saya kurang cocok dengan beberapa kicauannya di dunia maya. Teman saya itupun menyampaikan bahwa ia pernah mencoba membaca satu buku dari si penulis dan ia kurang menyukai. Saat itu kami berada pada perahu yang sama.
-***-
Beberapa bulan setelahnya saya sedang berjalan-jalan di salah satu toko buku di Kota Bandung. Ada novel baru Sapardi Djoko Damono yang ingin saya beli. Saat saya sedang berkeliling di koridor rak buku, tampaklah satu buku itu. Terdiam kalem dengan manisnya. Sangat teduh. Tampak gambar sepasang manusia tengah duduk berhadapan. Dengan latar biru tua yang menggambarkan langit malam dan beberapa gurat kuning sebagai perwakilan cahaya bintang, ditambah warna kontas pada pakaian sepasang manusia dan tulisan judul sebagai satuan sampul buku. Saya langsung tertarik. Saya memang anaknya visual, dalam artian cenderung mementingkan penampilan, so yes I am also judge a book by its cover haha.
Buku dengan sampul semanis itu tentunya menarik perhatian saya. Lalu saya lihatlah penulisnya: Bernard Batubara.
Karena ya, kenapa tidak. Saat saya mendengar nama para penulis yang menurut beberapa orang bagus, saya selalu berpikir bahwa suatu saat saya harus membaca minimal satu karya mereka agar saya bisa tahu apakah saya mendapat penulis favorit baru, atau minimal saya jadi tahu kecocokan karya si penulis dengan selera saya.
Lalu datanglah hari saat Bernard Batubara mengeluarkan buku dengan sampul sangat manis yang membuat hati saya menjerit ingin memiliki. Pun harga buku ini murah, tak sampai Rp. 50.000,- untuk ukuran buku cantik hardcover. Tak ada alasan bagi saya untuk tidak memilikinya.
Awalnya saya sanksi akan cocok dengan isi buku ini. Saya tetap membelinya lebih sebagai memberi kesempatan kepada diri saya untuk membaca karya Bernard Batubara. Pun kalau isinya tidak cocok saya tetap tidak akan menyesal karena covernya lucuuuu dan harganya murah. Sipp.
Lihatlah betapa manisnya buku ini 💙 |
Saat di perjalanan pulang, iseng lah saya membuka buku ini. Membaca sambil duduk di kereta api dalam perjalanan pulang memang menjadi salah satu kesukaan saya. Satu persatu baris kalimat saya baca. Dua, tiga halaman terus saya balik. Saya belum bosan. Saya belum mengeluh.
Meski pada satu bagian saya sempat mengernyitkan dahi, yaitu pada yang berjudul Kesedihan. Saya coba baca ulang, namun saya tetap tidak setuju. Tidak sesuai dengan paham saya. Awalnya saya tidak terlalu terkejut jika kedepannya saya akan lebih sering mengernyitkan dahi, karena seperti yang tadi saya katakan, dari awal saya sudah sanksi.
Namun seterusnya, saya tidak lagi menemukan keluhan. Bahkan masih pada bagian awal, pada yang berjudul Tidur Tanpa Bemimpi, dan Sepatu yang Hilang. Tanpa disangka saya sedikit bergetar, terutama pada yang berjudul Sepatu yang Hilang. Pikir saya, "Wah, isi tulisan-tulisan ini semakin manis."
Makin masuk ke bagian akhir, buku ini pun membuat saya sedikit merasakan atmosfer romantis seperti yang dibawakan Dilan. Meski aura romantis yang dibawakan dalam buku ini terasa lebih ringan dibandingkan Dilan, namun manisnya sama, bikin diabet.
Makin masuk ke bagian akhir, buku ini pun membuat saya sedikit merasakan atmosfer romantis seperti yang dibawakan Dilan. Meski aura romantis yang dibawakan dalam buku ini terasa lebih ringan dibandingkan Dilan, namun manisnya sama, bikin diabet.
Lalu terus begitu seterusnya. Saya semakin menikmati tiap rangkaian kata yang Bernard Batubara tuliskan dalam buku ini. Makin ke dalam makin saya berpikir "Saya tidak menyesal membeli buku ini."
Bahkan di pertengahan buku pun saya sudah iseng mencari buku-buku Bernard Batubara yang lain di list Goodreads.
"Saya cocok dengan tulisan Bara!", itu yang saya pikirkan. Dan saya senang. Karena mendapat tambahan list penulis yang saya suka merupakan keberuntungan bagi saya, menambah semangat saya dalam mencari, mengumpulkan, dan membaca buku.
Sampai pada penghabisan buku yang ternyata merupakan karya terkini Bernard Batubara, saya jatuh semakin dalam. Tanpa terasa tangan saya membalikkan halaman terakhir. Saya menjerit kecil karena gemas dan sedih, "Sudah tamat!"
Untuk para pecinta buku mungkin sudah tidak asing dengan perasaan patah hati saat buku kesukaanmu sudah habis terbaca haha. |
Sambil menutup buku ini saya jadi teringat dengan penilaian awal saya mengenai Bernard Batubara, mengenai ungkapan yang pernah saya lontarkan bahwa saya tidak menyukai Bara.
Namun saya bersyukur, karena kemudian saya berani mencoba. Saya berani gambling untuk tetap membeli bukunya dan melanjutkan membalikkan halaman-halaman buku ini. Sehingga kemudian saya menemukan cinta baru. Saya menemukan satu penulis favorit saya yang baru.
Oh ya, berikut sekilas keterangan buku yang saya bahas dalam tulisan ini,
Judul Buku : Luka Dalam Bara
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Noura
Tebal : 108 halaman
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Noura
Tebal : 108 halaman
Terima kasih Bang Bara.
Jadi, buku Bernard Batubara judul apa yang harus saya baca selanjutnya? 💖
Comments
Post a Comment