Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua tokoh dan setting yang ada dalam cerita ini tidak ada di dunia nyata 😃
Memang segala sesuatu itu ada baiknya dikomunikasikan sejak awal.
Malam ini saya sedang mendengarkan lagu di Joox. Mendadak otak saya memutar beberapa baris lirik dari lagu jadul di masa lalu. Saya jadi rindu untuk kembali mendengarkannya dan segera mencarinya di playlist Joox. Sambil mendengarkan lagu-lagu tersebut saya jadi merenungi pengalaman-pengalaman yang dulu terjalin seiring saat pertama kalinya saya mendengarkan lagu-lagu tersebut.
Sebenarnya ini bukan jenis lagu favorit saya. Saya hanya kebetulan tahu karena seseorang pernah mengirimkannya dulu.
Renungan yang dibawa oleh lagu-lagu ini cukup menarik. Membawa saya kembali pada serangkaian cerita di masa SMA saya dulu. Masa anak-anak, saat saya masih sangat bandel dan bocah.
Dahulu saat kelas 2 SMA, saya satu kelas dengan seorang anak laki-laki yang terkenal paling bandel di sekolah. Sebut saja namanya Adam.
Adam ini sangat sangat sering bolos. Hampir semua anak di sekolah dan semua guru sepertinya pasti kenal dengan Adam, dengan segala kenakalan dan perangainya. Anaknya tampan, secara fisik cukup menarik. Pembawaannya santai dan lucu, secara ekonomi pun tergolong mapan. Adam punya banyak teman dari berbagai golongan di sekolah, karena meskipun termasuk anak paling bandel di sekolah, Adam anaknya ramah dan gaul, wajar jika banyak teman.
Jujur saja sebenarnya saya tidak terlalu menyadari keberadaan Adam meskipun saat itu kami sudah sekelas hampir satu semester. Saya hanya pernah tahu bahwa di kelas saya ada anak bernama Adam. Namun setelahnya saya sama sekali tidak pernah tahu lagi tentang dia. Saya bahkan hampir melupakannya secara total. Karena memang wujudnya sangat jarang ada di sekolah. Sangat, sangat jarang seingat saya.
Lagipula saya dan Adam berasal dari dua golongan berbeda di sekolah. Saya, satu-satunya yang mengenakan jilbab di kelas; berasal dari kelas IPA unggulan namun memutuskan untuk pindah ke IPS karena berpikir jurusan kuliah saya nanti tidak membutuhkan mata pelajaran IPA, sehingga saya tidak mau susah-susah menghadapi Kimia dan Fisika hanya demi gelar anak IPA; selalu masuk ranking 2 besar yaitu ranking 1 saat sedang rajin, dan ranking 2 saat sedang enggan belajar; satu-satunya anggota OSIS inti dari kelas IPS; tipikal murid yang selalu duduk di bangku paling depan selama 3 tahun sekolah; selalu mengenakan seragam rapih dimasukkan ke dalam rok, memakai dasi; dan hampir tidak pernah bolos dari sekolah (kalaupun saya bolos pasti dibawah pengetahuan ibu saya hahaha). Singkatnya saya lebih cenderung sebagai nerd di sekolah. Sedangkan Adam, saya tidak tahu persis seburuk apa prestasi Adam di sekolah (atau justru mungkin dia cerdas, ya sepertinya Adam sebenarnya cerdas, dia hanya berada di fase khas kenakalan remaja); dalam tiga tahun sekolah Adam lebih sering bolos daripada berada di kelas; memakai seragam seenaknya; dan perilaku Adam di sekolah adalah merokok, ke kantin, kadang minum-minum; Adam tidak segan melawan guru di sekolah; Adam selalu duduk di bangku paling belakang di kelas manapun ia berada. Singkatnya Adam semacam salah satu ketua geng nakal di sekolah.
Kami berdua benar-benar berada di kutub yang berbeda, tidak ada alasan bagi kami untuk saling mengenal dan berinteraksi di sekolah.
Sampai pada suatu siang menjelang sore di sekolah. Saat itu saya baru selesai rapat OSIS bersama beberapa anggota inti lainnya. Sekolah sudah sepi dan saya berjalan sendiri menuju gerbang sekolah meninggalkan teman-teman OSIS lain yang masih berada di ruang rapat. Saya harus buru-buru pulang karena ada les sore itu. Saya ingat, saat sedang berjalan terburu-buru tiba-tiba seseorang memanggil nama saya. Saat itu saya berada di koridor kelas tiga, saya berbalik dan melihat seorang anak laki-laki berlari kecil menghampiri. Saya tidak mengenalinya, saya tidak tahu dia siapa.
"Baru mau pulang Na?"
"Ehm.. Iya. Kenapa?." Jujur saya tidak berani menanyakan dia siapa, karena dia tahu nama saya dan rasanya tidak enak kalau dia kemudian tahu bahwa saya tidak mengenalnya.
"Sore banget. Dari tadi Adam nungguin ternyata lama ya kalau kalian rapat."
"Haha kadang aja lamanya. Ada apa nungguin?." Well kalian dengar sebenarnya dia sudah menyebutkan namanya tapi saya saat itu tidak ngeh dan masih menerka-nerka saya kenal dia dimana.
"Itu Na.. Minta nomor Anna dong. Mau nanyain tugas yang tadi."
"Oh.. Oke.." Kemudian saya menyebutkan nomor handphone saya dengan perlahan menyadari bahwa dia adalah Adam, teman sekelas saya, yang hampir tidak pernah saya lihat di kelas itu.
Setelah memberikan nomor, kami berbasa-basi sebentar dan saya tidak ingat apa isi basa-basi itu. Namun saya segera pamit pulang karena memang harus segera pulang dan tidak ada alasan untuk lebih lama berbasa-basi dengan Adam.
Hari itulah pertama kalinya saya mulai menyadari keberadaan Adam dalam semesta kecil saya. Saya lupa apakah satu hari atau beberapa hari setelah itu, Adam kemudian menghubungi saya. Perlahan kami menjalani komunikasi yang awalnya hanya seputar basa-basi, namun kemudian menjadi semakin akrab dan terasa wajar. Adam tidak pernah menanyakan tugas yang menjadi alasan pertama ia meminta nomor saya. Lagi pula di hari dia meminta nomor itu tidak ada tugas sama sekali. Itu hanya alasannya untuk bisa memulai komunikasi.
Saya pribadi menanggapi proses ini begitu saja, saat seorang seperti Adam yang secara tiba-tiba menjalin komunikasi dengan seorang seperti saya. Saya tidak merasa spesial atau terpesona atau terjerat dengan proses ini. Apa ya, hmmm. Ya biasa saja.
Di satu sisi saya menanggapi komunikasi dengan Adam sama seperti saya berkomunikasi dengan teman-teman saya yang lain. Namun di sisi lain, ada suudzon yang saya rasakan mengingat siapa Adam.
Dan benar saja, tidak lama kemudian Adam memulai pendekatan romantisnya dan meminta saya untuk menjadi pacarnya. Dengan hati kosong saya menerimanya. Bagaimana ya.. Saat itu saya melihat ini semua hanyalah rangkaian permainan kecil Adam. Saya hanya ingin meladeninya dan melihat sejauh mana Adam menyepelekan saya, yang mungkin dibandingkan dirinya dan kelompoknya adalah nerd dan sangat polos. Well saya tidak sepolos itu.
Pacaran jaman SMA di tahun 2008. Hmm.. Itu hanya berkisar kegiatan sering komunikasi via SMS dan telponan rutin tiap malam. Kadang jalan-jalan keluar berdua untuk nonton di bioskop atau makan bersama. Hanya itu. Dan untuk saya yang memang seorang nerd (saya bangga bahwa saya adalah nerd), pacaran di tahun 2008 lebih besar porsi untuk berkomunikasi via handphone daripada untuk jalan-jalan berdua.
Sejak pacaran, Adam sangat sering menelpon saya. Dia pun beberapa kali mengajak jalan-jalan berdua, namun lebih sering saya tolak. Selama kami pacaran Adam juga jadi lebih sering masuk sekolah, karena saya yang sulit ditemui untuk jalan-jalan diluar sekolah, sehingga Adam mengambil kesempatan untuk bertemu di jam sekolah. Adam juga sering mengantarkan saya pulang ke rumah selama kami pacaran. Bahkan di saat Adam bolos sekolah pun, ia akan tetap datang ke sekolah di jam pulang hanya untuk mengantarkan saya ke rumah. Kami pacaran selama beberapa bulan, dan sempat dua kali jalan-jalan untuk nonton dan makan.
Namun semua ini terjadi dengan begitu alami, begitu masuk akal. Ia bahkan pernah menemui saya secara mendadak, meminta agar saya bersedia menemaninya sebentar untuk sekedar berjalan-jalan di dekat sekolah. Disitu ia kemudian menangis dalam diam, tak ada cerita apapun.
Saya rasa ikatan itu yang kemudian merusak permainan kecil kami. Mungkin pada awalnya Adam memang hanya iseng kepada saya. Saya pun begitu. Sehingga saat suatu hari ada seorang anak gadis yang menghubungi saya dan mengaku sebagai pacar Adam, saya sama sekali tidak terkejut. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Shinta, ia sudah menjadi pacar Adam selama tiga tahun. Berasal dari sekolah yang berbeda dan rumahnya berdekatan dengan Adam. Shinta menghubungi saya dengan bersahabat. Ia bilang ini bukan pertama kalinya Adam menduakannya. Shinta hanya ingin memberi tahu saya agar saya tidak keterusan dibodohi oleh Adam.
Saya menanggapi Shinta juga dengan keramahan. Dengan damai, santai, seperti saya meladeni Adam, tanpa beban - no hurt feeling. Alur seperti ini sudah saya tebak dari awal.
Saya pun sebenarnya punya pacar di sekolah lain. Kami berpacaran sejak SMP. Namun yang tahu hal ini hanya teman-teman dekat saya saja. Mengenai hubungan saya dan Adam berada dibawah pengetahuan pacar saya. Gila memang. Makanya saya katakan di awal bahwa ini merupakan kisah saat saya masih sangat bandel dan bocah. Tapi toh saya memang tidak pernah menganggap saya dan Adam adalah sesuatu yang serius. Saya menilai ini semua hanyalah rangkaian permainan Adam dan saya tidak menolak untuk ikut bermain di dalamnya.
Saya dan Adam masih baik-baik saja setelah itu. Mengenai kami yang saling menduakan, Adam tahu bahwa saya tahu, dan saya pun tahu bahwa Adam tahu. Kami hanya masih menikmatinya. Namun komunikasi kami semakin jarang setelah itu.
Hingga suatu hari Adam mulai mengirimkan lagu-lagu ini. Lagu-lagu yang menurutnya menyampaikan pikiran dan perasaan Adam mengenai saya dan mengenai hubungan yang kami jalani beberapa bulan terakhir. Lagu-lagu yang kemudian malam ini kembali saya dengarkan dan kembali membawa saya pada perenungan itu. Perenungan yang sudah mondar mandir di pikiran saya sejak pengalaman seperti ini saya temui, namun baru malam ini saya tergerak untuk menuliskannya.
Kami lalu putus. Adam menyampaikan bahwa dia tidak pernah menduakan saya. Dalam pengakuannya, Adam bilang ia memang sudah lama berpacaran dengan Shinta. Namun ia dan Shinta sudah putus saat kami sedang dekat sampai kami akhirnya berpacaran. Sampai akhirnya Adam tahu bahwa saya punya pacar di sekolah lain, disitulah Adam merasa dipermainkan dan ia kembali lagi dengan Shinta. Saya tidak tahu ini hanya bagian dari permainan atau tuturan jujur darinya. Saya hanya menikmati pelajaran manis ini.
Aku tidak pernah berniat main-main denganmu. Tapi kamu menilaiku mempermainkanmu. Lalu benar begitulah kemudian kisah ini berujung..
Seandainya kita kemudian bertemu di semesta lain, semesta yang tidak membiarkanmu menilaiku sebagai seorang brengsek.
Bahkan untuk kebaikan seorang kamu yang ku nilai seperti bidadari pun masih melihatku sebagai seseorang yang buruk.
Dari pengalaman ini saya belajar banyak. Entah mana yang benar apakah versi awal saya atau versi yang Adam coba sampaikan. Namun menarik rasanya untuk terjatuh dalam romansa versi baik Adam. Romansa tersebut membawa saya berpikir bahwa selalu ada cerita dibalik cerita. Bahwa seorang Adam yang sudah sebegitunya dinilai buruk oleh satu sekolah, sudah sebegitunya punya brand sebagai anak bandel dan manja, ternyata punya cerita tersendiri yang ia bungkus sedemikian rupa. Cerita mengenai diri Adam sebenarnya, Adam yang manis dalam keringkihannya; Adam yang lemah lembut kepada wanita; Adam yang bisa menangis dengan begitu halusnya; Adam kecil yang pernah diteriaki kasar oleh ayahnya di sebuah gang kecil dekat rumah; Adam yang berteriak lirih minta tolong, yang hanya butuh pelukan hangat dan dukungan tulus; bukan Adam yang kelam dan diragukan masa depannya, namun Adam yang cerdas dan punya masa depan cerah.
Sudah lama saya tidak menjalin komunikasi lagi dengan Adam. Namun saya tahu sekarang ia sudah menjadi seorang Adam yang cerdas dan punya masa depan menjanjikan. Adam berhasil menyelesaikan kuliahnya di sebuah universitas negeri di kota kami dulu. Ia sudah putus dari Shinta tidak lama setelah putus dengan saya. Adam kemudian menjalin hubungan dengan Maria, seorang gadis dari sekolah kami juga dan memang teman satu geng nya sejak lama. Mereka menjalin hubungan yang manis dan bahagia hingga sekarang. Saya pun bersama dengan pasangan saya menjalin hubungan yang romantis dan dewasa, jauh dari kebandelan dan keisengan masa SMA haha. Pada akhirnya kita memang akan bersama dengan seseorang yang dapat menggenapkan apa yang ganjil dalam diri kita. Dan segala pengalaman di masa lalu memang menjadi bahan renungan menyenangkan dan menambah senyuman di hari-hari saat kita semakin dewasa.
Saya menyayangi Adam. Bukan dalam bentuk romantis atau cheesy yang murahan. Saya menyayangi Adam sebagai manusia. Saya menyayangi segala kepolosan dan benih-benih baik yang ada dalam dirinya. Rasa sayang memang bisa muncul dalam banyak bentuk dan cara.
"I think.. if it is true that there are as many minds as there are heads, then there are as many kinds of love as there are hearts." - Leo Tolstoy, Anna Karenina.
Comments
Post a Comment